twitter


Saya baru menonton ulang film Brothers (2009) yang dibintangi oleh Tobey McGuire, Natalie Portman dan Jake Gylenhall. Dengan genre drama, film ini (kalau tidak salah) banyak dipuji karena isu yang diusung dan akting para pemainnya yang bagus.

Film ini bercerita tentang keluarga Cahill yang bahagia. Sam Cahill (Tobey McGuire) adalah seorang marinir yang sering meninggalkan keluarganya dalam tugas, meski begitu ia bahagia dengan Grace (Natalie Portman) istrinya yang cantik dan kedua gadis ciliknya; Izzy dan Maggie. Hanya ada satu cacat dalam keluarga Cahill, yaitu adik Sam bernama Tommy (Jake Gylenhall) yang pemabuk dan baru saja keluar dari penjara akibat dosanya merampok bank.

Cerita mulai bergulir ketika Sam sedang ditugaskan di Afghanistan dan dinyatakan mati dalam sebuah misi. Grace yang awalnya sangat membenci Tommy karena kelakuannya yang urakan sedikit demi sedikit mulai menerima kehadiran adik iparnya itu yang dianggap sebagai pengganti Sam. Apalagi kedua anak gadisnya amat mengagumi Uncle Tommy. Hingga kita disuguhi adegan-adegan mengharukan dimana Grace sering termangu karena begitu merindukan suaminya, dan campur aduk hatinya karena kehadiran sang adik ipar yang memang punya pesona.

Nun jauh di Afghanistan, ternyata Sam Cahill tidak meninggal, melainkan dijadikan sandera oleh pihak pribumi. Meski banyak adegan agak lebay (pengucapan Allah dan Muhammad yang tidak pada tempatnya) namun kengerian yang dihadapi seorang sandera begitu terasa. Sam dan seorang bawahannya bernama Joe (hanya mereka berdua yang tersisa) disiksa berhari-hari dan ditutup dengan matinya Joe di tangan Sam karena desakan pistol si penyandera.

Singkat cerita, setelah berbulan-bulan disekap akhirnya terjadi pertempuran sehingga Sam dapat dibebaskan oleh tentara USA. Kembalilah ia ke rumah disambut oleh anak istrinya. Namun sayang, Sam yang pulang ternyata berbeda dengan Sam yang dulu pergi. Kengerian dan perasaan bersalah karena telah membunuh temannya sendiri ternyata telah berbekas sangat dalam bagi Sam. Ia jadi paranoid dan mudah marah. Anak-anaknya pun jadi benci padanya dan lebih memilih Paman Tommy yang mereka sayangi.

Film ini sangat menyentuh saya karena satire yang ada di dalamnya. Betapa banyak tentara Amerika yang ditugaskan dalam perang dan pulang dengan jiwa terganggu. Sedih sekali menyaksikan keluarga yang terkoyak karena kekejaman perang yang sebenarnya entah untuk kepentingan siapa.

Saya juga terkagum-kagum melihat aksi Tobey McGuire yang biasanya terkesan kekanak-kanakkan (mungkin karena terlalu lama jadi Spiderman). Di film ini Tobey benar-benar terlihat sebagai tentara sakit jiwa yang juga psikopat. Kabarnya untuk film ini ia sampai harus membuat tubuhnya sangat kurus, dan memang berhasil. Pada adegan ia kembali dari Afghanistan, Tobey terlihat begitu cungkringdan tidak stabil. Lucunya, karena dibikin sangat kurus, kok jadi mirip Elijah Wood, si Frodo Baggins. Jake Gylenhall juga tak kalah mantap jadi adik sembrono yang hobinya mabuk-mabukkan di pub; yang mungkin tidak terlalu sulit ia perankan, mengingat di Prince of Persia, peran Dastan juga gitu.

Quote yang saya ingat dalam film ini adalah;

Adegan ketika Tobey McGuire menodongkan senjata pada kepalanya sendiri, ia berkata pada Gylenhall,

Help me brother ... I’m drowning ...

Dan kalimat yang ia ucapkan, ketika Natalie Portman menjenguknya di RS Jiwa (adegan terakhir:

Who was that said only the dead have seen the end of war? I have seen the end of war. The question is; how do I go on living?”

Membuat saya jadi merenung.

Berdosa sekali pihak-pihak yang menyebabkan perang berlangsung hanya demi kepentingan minyak atau senjata, sementara begitu banyak orang yang dirugikan.

It’s higly recommended.

Salam.


The Walking Dead
the zombies are all around

Baru-baru ini ada serial baru di Star Movies yang menarik perhatian saya. Judulnya "The Walking Dead", dengan 90 % pemain tak begitu dikenal dan format sinetron. Namun serial ini lumayan menegangkan dan menarik, dan (terutama) menyangkut satu hal yang menghantui saya sejak kecil.

Entah kenapa dari kecil saya selalu membayangkan bahwa pada suatu hari dunia akan dikuasai oleh entah-apa-itu yang pasti akan membuat saya ketakutan. Mungkin ini efek jangka panjang dari keseringan membaca dan menonton film horor.

Serial ini mengisahkan tentang seorang perwira polisi yang terluka dan menderita koma hingga harus dirawat di rumah sakit. Rick, sang polisi muda ini suatu hari terbangun linglung dan menemukan rumah sakit yang sudah compang-camping, kosong dan ... hiyy banyak zombie-nya.

Terbayang tidak? Terbangun, barely in clothes, berjalan saja masih limbung namun Anda sudah melihat bercak darah dimana-mana. Mau ngapain? Cari orang ga ada, ruangan sudah carut marut ... sedih deh pokoknya.

Maka, serial ini kemudian mengisahkan perjalanan Rick untuk mencari istri dan putranya, yang juga pada akhirnya bertemu dengan beberapa orang yang masih survive, karena ternyata selama ia koma, dunia telah diserang oleh semacam virus yang menyebabkan banyak orang saling membunuh dan menjadi zombie. Zombienya tentu berbahaya karena ia ingin selalu memakan manusia.

Hiyy ... masih mimpi buruk.

Saya masih mengikuti jalannya cerita ini. Sekarang baru masuk season 2.



Film ke-empat petualangan agent Ethan Hunt ini menyuguhkan banyak adegan yang penuh ketegangan. Dari mulai awal penonton dipaksa untuk sering menahan nafas karena banyaknya adegan-adegan yang nearly-impossible-to-be-done. Dua tempat mengagumkan yang membuat saya terkagum-kagum adalah gedung Kremlin di Moskow dan Burj Khalifa, gedung tertinggi di dunia (katanya) yang ada di Dubai.

Kali ini Ethan Hunt and the gank harus melaksanakan misi yang benar-benar impossible. Difitnah karena dituduh meledakkan gedung Kremlin di Moskow, Pemerintah USA memutuskan untuk menjalankan Ghost protocol, yaitu menyangkal keberadaan Ethan dkk, juga organisasi yang menaungi mereka, IMF. Ini dikarenakan pasca meledaknya Kremlin, hubungan Amerika-Rusia yang asalnya memang ga-akrab-akrab-amat jadi 'amat sangat dingin sekali', hingga dikhawatirkan terjadinya perang diantara dua negara.

Pada adegan runtuhnya Kremlin, asli saya tercengang. Bagi saya, Kremlin adalah simbol Rusia. Namanya (meski belum pernah ke sana) sudah melekat kuat di ingatan sebagai markas KGB (hasil membaca novel-novel spionase).

The second amazing building is Burj Khalifa. Pelaksanaan misi di gedung yang diklaim sebagai gedung tertinggi di dunia ini luar biasa menegangkan. Banyak adegan-adegan yang membuat saya ingin berseru memeringatkan "hati-hati ...!!" (lebay-dot-kom) hehehe.

Over all, film ini bagus. Meski dengan formula sama, menyelesaikan misi dengan peralatan super canggih (yah mau gimana lagi emang ceritanya dari dulu gitu), namun tetap berhasil membuat penonton puas. Plus, di film ke-empat ini banyak sekali adegan spontan yang membuat kita tersenyum. Akting para sidekicks juga tak mengecewakan. Paula Patton tampil amat sangat seksi dan memukau, plus berotot (beda sekali dengan terakhir saya lihat dia di Deja-vu), Simon Pegg yang sering membuat penonton tersenyum dan ... tentu saja Jeremy Renner yang amat sangat mencuri perhatian. Tak lupa juga Josh Holloway (Sawyer dalam serial LOST) yang cukup menjadi pemanis di awal.

Rating : 8.3/10


Jumat pagi kemarin saya ada kuliah. Functional Grammar bersama Bapak Doktor IL, Ph.d (nama tidak disebutkan), salah satu dosen (konyol), pecinta Miyabi, kadang-garing (yang adalah), ketua jurusan program linguistik s2. Ketika pertamakali bertemu dengan Beliau, pasti orang tidak akan terlalu menganggapnya serius karena senangnya ia cengar-cengir. Gaya mengajarnya beda dengan yang lain. Jika orang lain mengajar dengan serius dan bijak, maka Beliau (harus saya katakan) sangeunahna.

Jika ada mahasiswa yang bertanya,

"Pak, saya masih bingung ... kenapa ini ... bla bla bla ?"

maka Beliau akan menjawab:

"Oh itu karena ... bla ... bla ..."

selesai itu dilanjutkan dengan cengiran sepanjang 5 senti ke kiri dan kanan kemudian beliau akan bilang,

"eta ge meureun ... hehehehe" tertawa terbahak-bahaklah ia.

teeeng ....!

Kali lainnya, seorang mahasiswa bertanya,

"Pak, kenapa teori anu kok mirip dengan teori yang satunya lagi ya pak? Apa ada relevansinya?"

dan Beliau menjawab dengan manis,

"Yaah ... mungkin yang nulis teorinya masih sodara, atau pernah pacaran gitu ..."

sedaaaaaap ...

Namun jangan ragukan kemampuan Bapak yang satu ini. Beliau pakarnya linguistik. Segala macam kalimat dan kata bisa diobrak-abrik dan dijabarkan dengan sangat ilmiah. (buat orang non-bahasa, maaf kalo tak begitu paham, karena saya sering ditanyai 'mengapa bahasa aja mesti ada program masternya? apalagi sih yang dipelajari?' yah, saya hanya mau bilang bahwa mereka mengajari kami tata bahasa tingkat dewa hihi).

Yah, begitulah dosen saya yang satu ini, yang pada suatu hari mengaku tak bisa memakai lensa kontak karena dilarang dokter (beliau ternyata aslinya berkacamata) dan pada hari itu beliau memuji kami semua para mahasiswi yang dinilainya "cantik" karena beliau ga jelas melihat kami semua.

*glegh*

Jumat kemarin, Beliau mengatakan bahwa kita semua adalah korban civilisation/peradaban. Mengapa begitu? Karena kita cenderung lebih memilih untuk mengatakan sesuatu dengan sangat rumit supaya dinilai "PINTAR"

jadi daripada mengatakan bahwa,

"I love Miyabi because she is so beautiful and loves cuhcur"

orang yang menjadi korban peradaban akan mengatakan,

"The reason for my love for Miyabi is her extreme beauty and her fondness of cuhcur"

(seriusan, Pak Iwa selalu menggunakan nama Miyabi untuk contoh kalimatnya)

jadi daripada mengatakan,

"Kopi ini manis"

orang 'pintar' akan memilih untuk mengatakan,

"kopi yang mengandung kadar kafein tinggi dan berwarna hitam, yang enaknya diseduh dengan air panas dan dicampur gula ternyata memiliki rasa menggigit di lidah dan manisnya membuat hati meringis romantis abis"

dueeeeng ...

lah, itu mah contoh dari saya.

Anyway, gaya bahasa ‘pintar’ seperti itu memang menjamur di kalangan kita. Lihat saja buku-buku pelajaran/buku teks, semakin rumit bahasanya semakin kita seringkali bangga membawa-bawa dan membacanya. Jika ditemukan buku teks yang ‘biasa aja’ dan ‘mudah dicerna’ serasa bukan buku teks tapi novel.

(ngomong-ngomong kemarin saya nonton satu film yang saya ga ngerti banget ceritanya karena membingungkan. Ternyata setelah di-search banyak orang yang mengatakan sama, namun ada satu orang yang dengan bangganya mengatakan ‘betapa film itu cerdas dan menyajikan konflik yang begitu indah’, saya jadi curiga jangan-jangan dia nulis gitu supaya nampak pintar saja hehe)

Bapak juga mencontohkan betapa orang jaman sekarang ribetnya kebangetan.

“Dulu, ayah saya ga merasa harus buru-buru pergi ke sawah seperti saya yang selalu terburu-buru mengejar kuliah jam 7, ayah saya bisa pergi ke sawah jam berapapun yang ia mau tanpa takut konsekuensi apapun,”

Seisi kelas tertawa, sambil mikir. Iya juga ya?

Tapi kan jaman dulu ga rame, makanan-nya itu-itu aja??

“Yah, tapi jaman dulu lebih sehat, makanan bebas-pestisida, semua serba natural, tak mengenal apa itu kanker, apa itu darah tinggi atau kolesterol,”

Kami manggut-manggut lagi.

“Saya berani bertaruh satu milyar bahwa hidup jaman dulu lebih sederhana namun lebih bahagia,”

Aah .. how it is beautifully mentioned ...

“Tapi ... dulu belum ada Miyabi ... jadi memang ga rame ... hehehe” tambah beliau, tak lupa dengan cengirannya.

Jiaaaaah Bapaaaak ...

Namun pembicaraan hari itu terfikirkan benarnya oleh saya. Betapa kita (yang mengaku) sebagai manusia moderen banyak ribet dan meribetkan semuanya. Hal-hal remeh temeh digede-gedein supaya dicap ‘keren’. Kita mengaku orang beradab yang memiliki aturan dan tatakrama namun seringkali kedua hal itulah yang membuat kita melupakan humanitas kita sebagai manusia.

Kuliah hari itu diakhiri dengan satu pertanyaan dari mahasiswa yang duduk pas di depan saya,

“Bapak, saya mau tanya, kalau hubungannya antara ... mood, tenor, field dengan .... bla bla bla, apa pa?” ia sambil menunjuk ke buku rujukan kuliah kami yang tebalnya sekitar 300-400 halaman karangan si Eggins yang bujubuneng baru sekitar 4-5 kali ngulang baca baru saya bisa ngerti.

Dan Bapak Dosen kita yang luar biasa itu menjawab dengan entengnya sesudah menyeruput kopi yang disuguhkan pegawai gedung,

“Naaaah ... baca buku yang tebel gini aja udah susah, ngapain mikirin yang gitu? Kamu korban peradaban yaa??”

Hahahahaha.


Jumat pagi kemarin saya ada kuliah. Functional Grammar bersama Bapak Doktor IL, Ph.d (nama tidak disebutkan), salah satu dosen (konyol), pecinta Miyabi, kadang-garing (yang adalah), ketua jurusan program linguistik s2. Ketika pertamakali bertemu dengan Beliau, pasti orang tidak akan terlalu menganggapnya serius karena senangnya ia cengar-cengir. Gaya mengajarnya beda dengan yang lain. Jika orang lain mengajar dengan serius dan bijak, maka Beliau (harus saya katakan) sangeunahna.

Jika ada mahasiswa yang bertanya,

"Pak, saya masih bingung ... kenapa ini ... bla bla bla ?"

maka Beliau akan menjawab:

"Oh itu karena ... bla ... bla ..."

selesai itu dilanjutkan dengan cengiran sepanjang 5 senti ke kiri dan kanan kemudian beliau akan bilang,

"eta ge meureun ... hehehehe" tertawa terbahak-bahaklah ia.

teeeng ....!

Kali lainnya, seorang mahasiswa bertanya,

"Pak, kenapa teori anu kok mirip dengan teori yang satunya lagi ya pak? Apa ada relevansinya?"

dan Beliau menjawab dengan manis,

"Yaah ... mungkin yang nulis teorinya masih sodara, atau pernah pacaran gitu ..."

sedaaaaaap ...

Namun jangan ragukan kemampuan Bapak yang satu ini. Beliau pakarnya linguistik. Segala macam kalimat dan kata bisa diobrak-abrik dan dijabarkan dengan sangat ilmiah. (buat orang non-bahasa, maaf kalo tak begitu paham, karena saya sering ditanyai 'mengapa bahasa aja mesti ada program masternya? apalagi sih yang dipelajari?' yah, saya hanya mau bilang bahwa mereka mengajari kami tata bahasa tingkat dewa hihi).

Yah, begitulah dosen saya yang satu ini, yang pada suatu hari mengaku tak bisa memakai lensa kontak karena dilarang dokter (beliau ternyata aslinya berkacamata) dan pada hari itu beliau memuji kami semua para mahasiswi yang dinilainya "cantik" karena beliau ga jelas melihat kami semua.

*glegh*

Jumat kemarin, Beliau mengatakan bahwa kita semua adalah korban civilisation/peradaban. Mengapa begitu? Karena kita cenderung lebih memilih untuk mengatakan sesuatu dengan sangat rumit supaya dinilai "PINTAR"

jadi daripada mengatakan bahwa,

"I love Miyabi because she is so beautiful and loves cuhcur"

orang yang menjadi korban peradaban akan mengatakan,

"The reason for my love for Miyabi is her extreme beauty and her fondness of cuhcur"

(seriusan, Pak Iwa selalu menggunakan nama Miyabi untuk contoh kalimatnya)

jadi daripada mengatakan,

"Kopi ini manis"

orang 'pintar' akan memilih untuk mengatakan,

"kopi yang mengandung kadar kafein tinggi dan berwarna hitam, yang enaknya diseduh dengan air panas dan dicampur gula ternyata memiliki rasa menggigit di lidah dan manisnya membuat hati meringis romantis abis"

dueeeeng ...

lah, itu mah contoh dari saya.

Anyway, gaya bahasa ‘pintar’ seperti itu memang menjamur di kalangan kita. Lihat saja buku-buku pelajaran/buku teks, semakin rumit bahasanya semakin kita seringkali bangga membawa-bawa dan membacanya. Jika ditemukan buku teks yang ‘biasa aja’ dan ‘mudah dicerna’ serasa bukan buku teks tapi novel.

(ngomong-ngomong kemarin saya nonton satu film yang saya ga ngerti banget ceritanya karena membingungkan. Ternyata setelah di-search banyak orang yang mengatakan sama, namun ada satu orang yang dengan bangganya mengatakan ‘betapa film itu cerdas dan menyajikan konflik yang begitu indah’, saya jadi curiga jangan-jangan dia nulis gitu supaya nampak pintar saja hehe)

Bapak juga mencontohkan betapa orang jaman sekarang ribetnya kebangetan.

“Dulu, ayah saya ga merasa harus buru-buru pergi ke sawah seperti saya yang selalu terburu-buru mengejar kuliah jam 7, ayah saya bisa pergi ke sawah jam berapapun yang ia mau tanpa takut konsekuensi apapun,”

Seisi kelas tertawa, sambil mikir. Iya juga ya?

Tapi kan jaman dulu ga rame, makanan-nya itu-itu aja??

“Yah, tapi jaman dulu lebih sehat, makanan bebas-pestisida, semua serba natural, tak mengenal apa itu kanker, apa itu darah tinggi atau kolesterol,”

Kami manggut-manggut lagi.

“Saya berani bertaruh satu milyar bahwa hidup jaman dulu lebih sederhana namun lebih bahagia,”

Aah .. how it is beautifully mentioned ...

“Tapi ... dulu belum ada Miyabi ... jadi memang ga rame ... hehehe” tambah beliau, tak lupa dengan cengirannya.

Jiaaaaah Bapaaaak ...

Namun pembicaraan hari itu terfikirkan benarnya oleh saya. Betapa kita (yang mengaku) sebagai manusia moderen banyak ribet dan meribetkan semuanya. Hal-hal remeh temeh digede-gedein supaya dicap ‘keren’. Kita mengaku orang beradab yang memiliki aturan dan tatakrama namun seringkali kedua hal itulah yang membuat kita melupakan humanitas kita sebagai manusia.

Kuliah hari itu diakhiri dengan satu pertanyaan dari mahasiswa yang duduk pas di depan saya,

“Bapak, saya mau tanya, kalau hubungannya antara ... mood, tenor, field dengan .... bla bla bla, apa pa?” ia sambil menunjuk ke buku rujukan kuliah kami yang tebalnya sekitar 300-400 halaman karangan si Eggins yang bujubuneng baru sekitar 4-5 kali ngulang baca baru saya bisa ngerti.

Dan Bapak Dosen kita yang luar biasa itu menjawab dengan entengnya sesudah menyeruput kopi yang disuguhkan pegawai gedung,

“Naaaah ... baca buku yang tebel gini aja udah susah, ngapain mikirin yang gitu? Kamu korban peradaban yaa??”

Hahahahaha.



Beberapa hari yang lalu saya menonton sebuah film. Film yang saya tonton berjudul “Martha Marcy May Marlene”, ber-genre drama dengan alur agak lambat. Di sinopsis singkat yang saya temukan (ini biasa saya lakukan jika mau menonton film), disebutkan bahwa film ini menceritakan tentang tokoh utama yang terpaksa harus belajar untuk bersosialisasi kembali setelah mengalami sebuah trauma. Karena informasi semacam itu sangat “biasa” saja bagi saya, jadi saya anteng aja menonton film ini. Setelahnya? Sungguh saya gemetaran. Akan saya ceritakan mengapa.

Dikisahkan seorang gadis sebagai tokoh utama bernama Martha. Dengan alur lambat dan maju mundur, kita mesti agak jeli untuk bisa menangkap “the big picture” dari film ini. Adegan dibuka dengan kehidupan di sebuah rumah pertanian dan seorang gadis (yang adalah) Martha, melarikan diri dari rumah tersebut di pagi buta. Setelahnya, sambil menangis ia menelepon kakak perempuannya dari sebuah telepon umum, kakak perempuannya menjemput dan ia pun resmi tinggal menumpang di rumah kakaknya tersebut.

Apa yang terjadi? Martha ternyata seorang gadis muda yang telah meninggalkan rumah selama dua tahun tanpa kabar berita. Dengan kedua orangtua yang sudah tiada, hanya seorang kakak perempuan lah yang mengkhawatirkan dirinya. Selama dua tahun Martha tinggal bersama sekumpulan orang yang ia anggap “keluarga” yang telah menorehkan “sesuatu” kepada Martha. Menyebabkannya menjadi pribadi yang bebal, anti kemapanan dan sering membuat kakak perempuannya bingung.

Selama dua tahun Martha ternyata tergabung dalam sebuah kelompok tertentu. Saya ingin menyebutnya sekte, namun saya masih belum yakin mengenai definisi jelas dari kata “sekte”, maka saya memilih untuk menyebutnya kelompok saja. Kelompok ini terdiri dari sekitar dua lusin anak-anak muda, berusia antara 15 – 23 tahun, dipimpin oleh seorang pria paruh baya. Kelompok ini hidup memisahkan diri dari masyarakat di sebuah rumah pertanian besar di tengah hutan. Kegiatan sehari-hari mereka adalah bercocok tanam dan saling menghibur diri dengan bernyanyi dan bermain gitar. Sepintas tampak seperti tak ada masalah apapun diantara mereka. Mereka riang gembira dan saling menyayangi satu sama lain.

Dari awal film mulai, perasaan saya sudah tidak enak mengenai nasib Martha. Benar saja, ternyata kelompok ini bukan kelompok biasa. Setiap ada anggota baru yang masuk dan berjenis kelamin perempuan, maka seseorang yang ditunjuk oleh kelompok itu akan membuatkan sejenis minuman sehingga si gadis baru jadi teler, untuk kemudian dipaksa berhubungan seksual dengan si pemimpin kelompok. Yang membuat muak, setelahnya si gadis baru (termasuk juga Martha) akan dicekoki dengan doktrin bahwa hubungan seksual yang terjadi merupakan “cleansing” atau pembersihan jiwa. Setelahnya, kelompok ini akan bebas berhubungan seksual antara satu dan yang lainnya, berpasangan maupun berkelompok, sendirian maupun beramai-ramai di dalam kamar. Jika kemudian lahir anak dari hasil hubungan tersebut, maka mereka semua akan bergantian menjaga dan mengasuhnya.

Memuakkan bukan? Tapi kegilaan belum cukup sampai situ. Kelompok ini juga sering menyelinap ke rumah-rumah besar dan mencuri barang berharga di dalamnya. Juga, ketika kekurangan uang maka si pemimpin kelompok takkan sungkan-sungkan untuk meminta salah satu anggota kelompok untuk menelepon ayahnya yang kaya raya dan meminta uang.

Saya gemetaran menonton film ini karena fakta menjijikkan yang dipaparkan di sini. Ini bukan cerita bualan karena saya sering membaca berita mengenai berbagai sekte di berbagai belahan dunia yang rata-rata seperti yang digambarkan film ini. Anak-anak muda yang kebingungan dengan identitas diri dicekoki dan mengalami “cuci otak” dengan dijejali doktrin-doktrin tertentu yang bagi manusia yang menjunjung tinggi logika takkan mungkin bisa dikatakan normal. Betapa kasihannya anak-anak muda seperti Martha (yang di kelompok itu dipanggil dengan nama “Marcy May”) terpaksa harus hidup ‘tak normal’ di bawah jargon anti kemapanan yang memandang dunia sudah sangat kapitalis sehingga mereka memilih untuk hidup berseberangan dengan norma masyarakat. Martha diajarkan bahwa manusia hanya “exist/ada” saja, berfungsi untuk saling menghargai dan menyayangi, tanpa bekerja, karena bekerja dianggap kegiatan yang pada akhirnya hanya berujung pada penghambaan terhadap uang. Lucunya, kelompok Martha ternyata juga masih butuh uang sehingga mereka “menghalalkan” mencuri di rumah-rumah orang. Kelompok ini mengajarkan saling menghargai sesama anggotanya, namun anehnya semua anggota perempuan dilarang makan kecuali setelah para anggota laki-laki sudah selesai makan dan kenyang. Benar-benar kontradiksi yang membuat mual.

Keberadaan kelompok-kelompok ini tidak saja terjadi di Amerika (yang sempat membuat geger masyarakat sana), namun juga di Indonesia, masyarakat kita sendiri. Amerika pernah dikejutkan dengan sekte “Keluarga Mason” yang seperti kelompoknya Martha, memisahkan diri dari masyarakat dan berujung pada aksi bunuh diri masal yang dilakukan beramai-ramai.

Banyak orang-orang yang ‘terseret’ arus isme tertentu, hingga tak lagi bisa hidup normal bermasyarakat seperti yang lainnya. Ideologi atau isme atau sekte ini tak hanya yang menganut anti kemapanan seperti kelompoknya Martha, namun juga kelompok yang mengatasnamakan agama tertentu sebagai kedok, padahal mereka tak lebih dari kelompok sesat dan menyesatkan. Anda tentu tahu dan bisa menyebutkan tanpa saya kasih tahu kelompok-kelompok mana yang dimaksud.

Luka fisik akibat senjata tajam atau bahkan peluru tampak menyakitkan (setidaknya di film-film) namun luka psikologis macam yang dialami Martha tentu secara kasat mata tak nampak tapi jelas meninggalkan bekas, yang celakanya tidak mungkin bisa hilang dalam waktu singkat. Banyak terjadi kasus-kasus seperti ini ketika kemudian si korban tak lagi bisa ‘normal’ dalam hidupnya.

Saya menutup tulisan ini gantung, seperti ending filmnya yang juga gantung. Saya jadi banyak menarik nafas setelah menonton film ini.

Betapa menggiurkan, sekaligus membahayakan sesuatu yang disebut idealisme itu.



Cher Dieu,

J'ai essayé de tout laisser derrière ...

mais toujours elle est là

aidez-moi ...

Dear The owner of every living souls on earth,

I am walking in an extremely thin string

In the middle of nowhere

With heart full of disguise

And head upright too proud

Seeing too clear that You won’t help me, unless I help myself

Pandang aku, Pemilik segala rahasia yang tersembunyi,

Aku di sini

Bertahan tanpa airmata tertumpah